Setelah hampir 60 tahun, minuman ringan asal Amerika Serikat, Coca-Cola, dijual lagi di Myanmar.
Coca-Cola, yang menjual 1,8 miliar botol per hari, mulai melakukan pengiriman pertama ke Myanmar pada Senin dan produksi lokal akan segera dimulai.
Menurut penulis buku A History of the World in Six Glasses, Tom Standage, masuknya Coca-Cola ke dalam sebuah negara mengirimkan sebuah simbol yang kuat tentang hubungan Amerika Serikat dengan negara itu.
"Saat Coca-Cola mulai pengiriman ke sebuah negara maka saat itu Anda bisa mengatakan mungkin ada perubahan nyata terjadi di sana (negara itu), Coca-Cola adalah kapitalisme dalam botol."katanya.
Kini hanya ada dua negara di mana Coca-cola tidak secara resmi bisa diperjualbelikan, yaitu Kuba dan Korea Utara disebabkan embargo perdagangan oleh Amerika Serikat.
Pihak Coca-Cola mengatakan jika ada minuman yang dijual di kedua negara tersebut, mereka datang melalui "pihak ketiga yang tidak berwenang" alias diselundupkan melalui pasar gelap atau diluar jalur resmi.
Seperti contohnya ada sebuah laporan baru-baru ini yang mengatakan bahwa Coca Cola dijual di sebuah restoran yang tidak disebutkan namanya di Pyongyang.
Perlu diketahui, bahwa Kuba sebenarnya adalah salah satu dari tiga negara pertama di luar AS yang menjual Coke, istilah lain Coca-cola, pada 1906.
Namun, perusahaan itu pindah karena pemerintah Fidel Castro mulai merebut aset swasta pada 1960 dan tidak pernah kembali.
Minuman bersoda ini diciptakan pada 1886 di Atlanta, Georgia. Coca-Cola aktif menjual produknya hingga ke mancanegara pada tahun-tahun awal perkembangannya.
Pada awal 1900-an, minuman ini telah tersebar di Asia dan Eropa.
Namun, dorongan besar datang sebagai akibat dari Perang Dunia II ketika Coca-Cola diberikan kepada pasukan Amerika Serikat di luar negeri.
Ada lebih dari 60 pabrik pembotolan militer untuk Coca-Cola di seluruh dunia selama masa perang.
Dwight Eisenhower, pada saat itu komandan tertinggi pasukan Sekutu di Eropa, mengaku sebagai penggemar Coca-Cola dan ia memastikan ketersediaan minuman itu di Afrika Utara. Dia juga memperkenalkan minuman ini untuk jenderal Uni Soviet, Georgy Zhukov, yang meminta Coca-Cola dengan warna serupa vodka.
Selama Perang Dingin, Coca-Cola menjadi simbol kapitalisme dan faultline antara kapitalisme dan komunisme, kata Bruce Webster, konsultan merek yang pernah bekerja sama dengan Coca-Cola.
"Coca-cola tidak dipasarkan di Uni Soviet karena ketakutan bahwa keuntungan akan langsung masuk ke kas pemerintah komunis," kata Standage. Pepsi mengisi kesenjangan dan banyak dijual di negara itu.
Ketika tembok Berlin runtuh pada 1989, banyak warga Jerman Timur membeli Coca-Cola, kata Standage. "Minum Coca-Cola menjadi simbol kebebasan."
Coca-Cola tidak berusaha untuk terlibat dalam politik, menurut Webster. Namun, sebagai sebuah merek besar yang terkait erat dengan Amerika Serikat, kadang-kadang Coca-Cola terjerat juga dalam politik.
Pada 2003, pengunjuk rasa di Thailand menuangkan Coca-Cola ke jalan-jalan saat demonstrasi menentang invasi Amerika Serikat ke Irak. Penjualan sementara ke negara ini pun dihentikan.
Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, juga mengancam akan melarang Coca-Cola dan Presiden Venezuela Hugo Chavez baru-baru ini mendesak orang untuk minum jus buah buatan lokal daripada minum Coca-Cola atau Pepsi.
Saat ini pasar Coca Cola berkembang amat pesat di China, India, dan Brasil. Terlebih lagi Piala Dunia sepakbola akan diadakan di Brasil pada 2014 dan kemudia Olimpiade Musim Panas di Rio de Janeiro pada 2016. Maka makin berkibarlah simbol kapitalisme ini.
Sumber / Source