Setidaknya ada dua paradigma terhadap Indonesia. Pertama, paradigma yang melihat negara ini sebagai lahan kekuasaan yang harus dieksploitasi dan diserap aset - asetnya untuk memperkaya diri baik secara pribadi atau kelompok (entitas kepentingan politik-ekonomi). Kedua, paradigma yang melihat Indonesia sebagai negara yang harus diselamatkan dari multi krisis (ekonomi, politik, budaya, sosial), dan didorong lahir kembali menjadi Indonesia baru, yakni Indonesia yang bermartabat. Ini ditempuh melalui cara - cara konstitusional yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Masing - masing kelompok pendukung dua paradigma itu akan bertarung dalam Pemilu 2014. Kelompok pertama melihat Pemilu 2014 adalah arena perebutan kekuasaan yang harus dimenangkan melalui kekuatan modal ekonomi dan modal politik. Disini modal menjadi alat sekaligus tujuan. Modal itu dapat berlipat ganda dan mendatangkan keuntungan besar jika mampu "membeli" kekuasaan. Politik uang menjadi keniscayaan. Moralitas politik dipahami sebagai sesuatu yang relatif atau nisbi. Disini, kekuasaan tidak dimuliakan sebagai alat untuk mendistribusikan kesejahteraan, melainkan untuk melayani pragmatisme - hedonistik yang berujung pada pencapaian kenikmatan material - biologis - psikologis semata.
Aktor - aktor utama pendukung gagasan utama diatas adalah mereka yang memiliki modal sangat besar dan kuat, namun miskin komitmen, integritas dan kapabilitas. Mereka selalu menggunakan (kata) rakyat untuk meraup profit politik. Jika mereka bicara memperjuangkan rakyat, maka rakyat disitu lebih diartikan sebagai komoditas politik, bukan sebagai pemilik sah kekuasaan (kedaulatan).
Kelompok kedua memahami Pemilu 2014 sebagai momentum perubahan untuk melahirkan Indonesia baru yang bermartabat (beradab, adil, sejahtera) dimana seluruh stakeholder berpartisipasi dan menikmati seluruh pencapaian perubahan itu. Kita berharap kelompok ini mampu mengembalikan negara ini ke dalam track-nya, yakni konstitusi (UUD 45), Pancasila, NKRI dan Kebhinnekaan kultural.
Selama ini, negara / bangsa ini jatuh dalam hegemoni kapitalisme liberal, dimana seluruh urusan negara / bangsa diserahkan (tunduk) pada mekanisme pasar bebas. Ketidakadilan, kemiskinan, ketercerabutan identitas budaya bangsa, penguatan promordialisme suku / agama, konflik horisontal dan keterancaman pluralisme yang terepresentasi pada berbagai bentuk diskriminasi merupakan akibat dari tersanderanya negara di tangan kekuatan kapitalisme liberal. Kesuntukan negara dalam kepanitiaan pasar bebas, menyebabkan terlantarnya tugas - tugas konstitusionalnya.
Sumber / Source
Masing - masing kelompok pendukung dua paradigma itu akan bertarung dalam Pemilu 2014. Kelompok pertama melihat Pemilu 2014 adalah arena perebutan kekuasaan yang harus dimenangkan melalui kekuatan modal ekonomi dan modal politik. Disini modal menjadi alat sekaligus tujuan. Modal itu dapat berlipat ganda dan mendatangkan keuntungan besar jika mampu "membeli" kekuasaan. Politik uang menjadi keniscayaan. Moralitas politik dipahami sebagai sesuatu yang relatif atau nisbi. Disini, kekuasaan tidak dimuliakan sebagai alat untuk mendistribusikan kesejahteraan, melainkan untuk melayani pragmatisme - hedonistik yang berujung pada pencapaian kenikmatan material - biologis - psikologis semata.
Aktor - aktor utama pendukung gagasan utama diatas adalah mereka yang memiliki modal sangat besar dan kuat, namun miskin komitmen, integritas dan kapabilitas. Mereka selalu menggunakan (kata) rakyat untuk meraup profit politik. Jika mereka bicara memperjuangkan rakyat, maka rakyat disitu lebih diartikan sebagai komoditas politik, bukan sebagai pemilik sah kekuasaan (kedaulatan).
Kelompok kedua memahami Pemilu 2014 sebagai momentum perubahan untuk melahirkan Indonesia baru yang bermartabat (beradab, adil, sejahtera) dimana seluruh stakeholder berpartisipasi dan menikmati seluruh pencapaian perubahan itu. Kita berharap kelompok ini mampu mengembalikan negara ini ke dalam track-nya, yakni konstitusi (UUD 45), Pancasila, NKRI dan Kebhinnekaan kultural.
Selama ini, negara / bangsa ini jatuh dalam hegemoni kapitalisme liberal, dimana seluruh urusan negara / bangsa diserahkan (tunduk) pada mekanisme pasar bebas. Ketidakadilan, kemiskinan, ketercerabutan identitas budaya bangsa, penguatan promordialisme suku / agama, konflik horisontal dan keterancaman pluralisme yang terepresentasi pada berbagai bentuk diskriminasi merupakan akibat dari tersanderanya negara di tangan kekuatan kapitalisme liberal. Kesuntukan negara dalam kepanitiaan pasar bebas, menyebabkan terlantarnya tugas - tugas konstitusionalnya.
Sumber / Source